Senin, 13 Juni 2011

cara jitu menghafal Al Qur'an

Metode menghafal Qur’an Bersama Mudhawi Ma’arif

I. Pendahuluan
Ada 3 prinsip (Three P) yang harus difungsikan oleh ikhwan/akhwat kapan dan
dimana saja berada sebagai sarana pendukung keberhasilan dalam menghafal al
qur’an. 3P (Three P) tersebut adalah:

1. Persiapan (Isti’dad)
Kewajiban utama penghafal al-qur’an adalah ia harus menghafalkan setiap harinya minimal satu halam dengan tepat dan benar dengan memilih waktu yang tepat untuk menghafal seperti:
a. Sebelum tidur malam lakukan persiapan terlebih dahulu dengan membaca
dan menghafal satu halaman secara grambyangan (jangan langsung dihafal secara mendalam)
b. Setelah bangun tidur hafalkan satu halaman tersebut dengan hafalan yang mendalam dengan tenang lagi konsentrasi
c. Ulangi terus hafalan tersebut (satu halaman) sampai benar-benar hafal diluar kepala
2. Pengesahan (Tashih/setor)
Setelah dilakukan persiapan secara matang dengan selalu mengingat-ingat satu
halaman tersebu, berikutnya tashihkan (setorkan) hafalan antum kepada
ustad/ustadzah. Setiap kesalahan yang telah ditunjukkan oleh ustad, hendaknya penghafal melakukan hal-hal berikut:
a. Memberi tanda kesalahan dengan mencatatnya (dibawah atau diatas huruf yang lupa)
b. Mengulang kesalahan sampai dianggap benar uoleh ustad.
c. Bersabar untuk tidak menambah materi dan hafalan baru kecuali materi
dan hafalan lama benar-benar sudah dikuasai dan disahkan
3. Pengulangan (Muroja’ah/Penjagaan)
Setelah setor jangan meninggalkan tempat (majlis) untuk pulang sebelum hafalan yang telah disetorkan diulang beberapa kali terlebih dahulu (sesuai dengan anjuran ustad/ustadzah) sampai ustad benar-benar mengijinkannya

II. Syarat Utama Untuk Memudahkan Hafalan
1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah
2. Berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan menjadi hamba-hamba pilihanNya yang menjaga al-qur’an
3. Istiqomah sampai ajal musamma
4. Menguasai bacaan al-qur’an dengan benar (tajwid dan makharij al huruf)
5. Adanya seorang pembimbing dari ustad/ustadzah (al-hafidz/al-hafidzah)
6. Minimal sudah pernah khatam al-qur’an 20 kali (dengan membaca setiap ayat 5 kali)
7. Gunakan satu jenis mushaf al-qur’an (al-qur’an pojok)
8. Menggunakan pensil/bolpen/stabilo sebagai pembantu
9. Memahami ayat yang akan dihafal

III. Macam-macam Metode Menghafal
A. Sistem Fardhi
Ikuti langkah ini dengan tartib (urut):
1. Tenang dan tersenyumlah, jangan tegang
2. Bacalah ayat yang akan dihafal hingga terbayang dengan jelas kedalam pikiran dan hati
3. Hafalkan ayat tersebut dengan menghafalkan bentuk tulisan huruf-huruf dan tempat-tempatnya
4. Setelah itu pejamkan kedua mata dan
5. Bacalah dengan suara pelan lagi konsentrasi (posisi mata tetap terpejam dan santai)
6. Kemudian baca ayat tersebut dengan suara keras (posisimata tetap terpejam dan jangan tergesa-gesa)
7. Ulangi sampai 3x atau sampai benar-benar hafal
8. Beri tanda pada kalimat yang dianggap sulit dan bermasalah (garis bawah/distabilo)
9. Jangan pindah kepada hafalan baru sebelum hafalan lama sudah menjadi kuat

Penggabungan ayat-ayat yang sudah dihafal

Setelah anda hafal ayat pertama dan kedua jangan pindah kepada ayat ketiga akan
tetapi harus digabungkan terlebih dahulu antara keduanya dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini:

1. Bacalah ayat pertama dan kedua sekaligus dengan suara pelan lagi konsentrasi
2. Kemudian bacalah keduanya dengan suara keras lagi konsentrasi dan tenang
3. Ulani kedua ayat tersebut minimal 3x sehingga hafalan benar-benar kuat.
Begitulah seterusnya, pada tiap-iap dua tambahan ayat baru harus digabungkan dengan ayat sebelumnya sehingga terjadi kesinambungan hafalan
4. Mengulang dari ayat belakang ke depan. Dan dari depan ke belakang
5. Semuanya dibaca dengan suara hati terlebih dahulu kemudian dengan suara keras (mata dalam keadaan tertutup)
6. Begitu seterusnya. Setiap mendapatkan hafalan baru, harus digabungkan dengan ayat/halaman/juz sebelumya.
B. Sistem Jama’i
Sistem ini menggunakan metode baca bersama, yaitu dua/tiga orang (partnernya) membaca hafalan bersama-sama secara jahri (keras) dengan:
a. Bersama-sama baca keras
b. Bergantian membaca ayat-an dengan jahri. Keika partnernya membaca jahr dia harus membaca khafi (pelan) begitulah seterusnya dengan gantian.
Sistem ini dalam satu majlis diikuti oleh maksimal 12 peserta, dan minimal
2 peserta. Settingannya sebagai berikut:
a. Persiapan:
1. Peserta mengambil tempat duduk mengitari ustad/ustadzah
2. Ustad/ustadzah menetapkan partner bagi masing-masing peserta
3. Masing-masing pasangan menghafalkan bersama partnernya sayat baru dan lama sesuai dengan instruksi ustad/ustadzah
4. Setiap pasangan maju bergiliran menghadap ustad/ustadzah untuk setor halaman baru dan muroja’ah hafalan lama
b. Setoran ke ustad/ ustadzah:
1. Muroja’ah: 5 halaman dibaca dengan sistem syst-an (sistem gantian).
Muroja’ah dimulai dari halaman belakang (halaman baru) kearah halaman lama
2. Setor hafalan baru:
a. Membaca seluruh ayat-ayat yang baru dihafal secara bersama-sama
b. Bergiliran baca (ayatan) dengan dua putaran. Putaran pertama dimulai
dari yang duduk disebelah kanan dan putaran kedua dimulai dari sebelah kiri.
c. Membaca bersama-sama lagi, hafalan baru yang telah dibaca secara bergantian tadi.
3. Muroja’ah tes juz 1, dengan sistem acakan (2-3x soal). Dibaca bergiliran oleh masing-masing pasangan.
Ketika peserta sendirian tidak punya partner, atau partnernya sedang berhalangan
hadir, maka ustad wajibmenggabungkannya dengan kelompok lain yang kebetulan juz,
halaman dan urutannya sama, jika hafalannya tidak sama dengan kelompok lain maka
ustad hendaknya menunjuk salah seorang peserta yang berkemampuan untuk suka rela menemani.
c. Muroja’ah ditempat:
1. Kembali ketempat semula.
2. Mengulang bersama-sama seluruh bacaan yang disetorkan baik muroja’ah
maupun hafalan baru, dengan sistem yang sama dengan setoran
3. Menambah hafalan baru bersama-sama untuk disetorkan pada pertemuan berikutnya
4. Jangan tinggalkan majlis sebelum mendapat izin ustad/ustadzah.

IV. Keistimewaan sistem jama’i
1. Cepat menguasai bacaan al-qur’an dengan benar
2. Menghilangkan perasaan grogi dan tidak PD ketika baca al-qur’an didepan orang lain
3. Melatih diri agar tidak gampang tergesa-gesa dalam membaca
4. Mengurangi beban berat menghafal al-qur’an
5. Melatih untuk menjadi guru dan murid yang baik
6. Menguatkan hafalan lama dan baru
7. Semangat muroja’ah dan menambah hafalan baru
8. Meringankan beban ustad
9. Kesibukannya selalu termotivasi dengan al-qur’an
10. Mampu berda’wah dengan hikmah wa al-mau’idhah al-hasanah
11. Siap untuk dites dengan sistem acakan
12. Siap menjadi hamba-hamba Allah yang berlomba menuju kebaikan

V. Jaminan
1. Hafalan al-qur’an lanyah dan lancar dalam masa tempo yang sesingkat-singkatnya
2. Sukses dan bahagia di dunia dan akhirat
3. Pilihan Allah dan memperoleh surga ‘adn diakhirat nanti (surah fatir:
23-24)
VI. Metode Muroja’ah (Pengulangan dan penjagaan fardhi atau jama’i)
Ayat-ayat al-qur’an hanya akan tetap bersemayam didalam hati utu al-‘ilm jika
ayat-ayat yang dihafal selalu diingat, diulang dan dimuroja’ah.
Berikut ini cara muroja’ah:
1. Setelah hafal setengah juz/satu juz, harus mampu membaca sendiri didepan ustad/ustadzah dan penampilan.
2. Setiap hari membaca dengan suara pelan 2 juz. Membaca dengan suara keras (tartil) minimal 2 juz setiap hari.
3. Simakkan minimal setengah juz setiap hari kepada teman/murid/jama’ah/istri/suami dst
4. Ketika lupa dalam muroja’ah maka lakukan berikut ini:
• Jangan langsung melihat mushaf, tapi usahakan mengingat-ingat terlebih dahulu
• Ketika tidak lagi mampu mengingat-ingat, maka silahkan melihat mushaf
dan
• Catat penyebab kesalahan. Jika kesalahan terletak karena lupa maka
berilah tanda garis bawah. Jika kesalahan terletak karena faktor ayat
mutasyabihat (serupa dengan ayat lain) maka tulislah nama surat/no./juz ayat
yang serupa itu di halaman pinggir (hasyiyah).
Nb: kata imam waki' (guru imam syafii) agar mudal dalam menghafal apapun, kita diwasiatkan untuk mengurangi atau menjauhi perbuatan maksiat. wallahu a'lam bisshowab

sumber : http://hafez.wordpress.com/

suksesi kepemimpinan islam masa rasul dan sahabat


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
“Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” Mungkin kata-kata tersebut yang paling cocok dan pas bagi setiap orang muslim di seantero jagad raya ini. Kenapa tidak, manusia diturunkan di bumi ini adalah sebagai khalifah yang memakmurkan dan menyemarakkan dunia. Mungkin kita juga sepakat bahwa pada setiap individu manusia muslim adalah seorang pemimpin. Yakni memimpin dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Berbicara tentang “kepemimpinan”, sungguh alangkah menumbuhkan jiwa semangat bagi setiap muslim yang peduli akan iman yang diembannya. Jika kita menoleh jauh ke belakang tentang sejarah awal Islam, tentulah kita akan menemukan banyak pelajaran yang luar biasa apabila diaplikasikan dalam dunia modern sekarang, khususnya dalam hal “kepemimpinan”. Bagaimana bentuk kepemimpinan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Dan bagaimana cara pemilihan seorang pemimpin pada saat itu.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana bentuk-bentuk pemilihan pemimpin (suksesi kepemimpinan) dalam syariat Islam jika ditinjau dari masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, dan Bani Abasiyyah?

BAB II
SUKSESI KEPEMIMPINAN DALAM SYARIAT ISLAM

A.    Pada Masa Rasulullah
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekkah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan duniawi. Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala negara.[1]
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu (Madinah), maka beliau segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar-dasar tersebut antara lain:
1.      Pembagunan masjid, selain sebagai tempat ibadah masjid juga digunakan sebagai pusat pemerintahan.
2.      Ukhuwah Islamiyah, Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin dan Anshar.
3.      Hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lainyang tidak beragama Islam.
Dari perjalanan sejarah Nabi ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW, di samping sebagai pemimpin agama, juga seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang cakap. Hanya dalam sebelas tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukkan seluruh jazirah Arab ke dalam kekuasaannya.[2]


B.     Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Dalam sejarah Islam dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala negara, yakni pada masa Khulafaur Rasyidin; Abu Bakar ditetapkan berdasarkan pemilihan dengan musyawara terbuka, Umar ibn Khattab ditetapkan berdasarkan penunjukan kepala negara terdahulunya, Usman ibn Affan ditetapkan berdasarkan pemilihan dalam suatu dewan formatur, dan Ali ibn Abi Thalib ditetapkan berdasarkan pemilihan musyawarah dalam pertemuan terbuka.[3]
1.      Khalifah Abu Bakar
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sai’dah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam.[4]

2.      Khalifah Umar ibn Khattab
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, beliau bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai gantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam.[5]

3.      Usman Ibn Affan
Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melaui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.[6]

4.      Ali ibn Abi Thalib
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun pada pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin pemberotakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.[7]

C.    Kepemimpinan Bani Umayyah
Memasuki kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperolaeh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan suara pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia member interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.[8]

D.    Kepemimpinan Bani Abbasiyah
Kekuasaan Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, merupakan kelanjutan dari kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhamad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan oerubahan politik, sosial, dan budaya.[9]


BAB III
ANALISIS SUKSESI KEPEMIMPINAN DALAM SYARIAT ISLAM

A.    Dasar Hukum Pemilihan Pemimpin (Suksesi Kepemipinan)
Berkaitan dengan kehidupan bernegara, al-Qur’an dalam batas-batas tertentu, tidak memberikan pemberian. Tetapi al-Qur’an hanya memaktubkan tata nilai. Demikian pula as-Sunnah. Nabi tidak menetapkan peraturan secara rinci mengenai prosedur pergantian kepemimpinan umat dan kualifikasi pemimpin umat. Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa Firman Allah dan Sabda Nabi yang berkaitan dengan pembahasan.
1.      Dasar al-Qur’an
a.       Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.
¨bÎ)ur ÿ¾ÍnÉ»yd óOä3çF¨Bé& Zp¨Bé& ZoyÏnºur O$tRr&ur öNà6š/u Èbqà)¨?$$sù ÇÎËÈ  
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (QS. Al-Mu’minun: 52)[10]

b.      Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan dan menyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiyah.
öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka (QS. As-Syura: 38)[11]
c.       Kemestian mentaati Allah dan Rasulullah.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (

MAKALAH KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
“Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” Mungkin kata-kata tersebut yang paling cocok dan pas bagi setiap orang muslim di seantero jagad raya ini. Kenapa tidak, manusia diturunkan di bumi ini adalah sebagai khalifah yang memakmurkan dan menyemarakkan dunia. Mungkin kita juga sepakat bahwa pada setiap individu manusia muslim adalah seorang pemimpin. Yakni memimpin dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Berbicara tentang “kepemimpinan”, sungguh alangkah menumbuhkan jiwa semangat bagi setiap muslim yang peduli akan iman yang diembannya. Jika kita menoleh jauh ke belakang tentang sejarah awal Islam, tentulah kita akan menemukan banyak pelajaran yang luar biasa apabila diaplikasikan dalam dunia modern sekarang, khususnya dalam hal “kepemimpinan”. Bagaimana bentuk kepemimpinan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Dan bagaimana cara pemilihan seorang pemimpin pada saat itu.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana bentuk-bentuk pemilihan pemimpin (suksesi kepemimpinan) dalam syariat Islam jika ditinjau dari masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, dan Bani Abasiyyah?

BAB II
SUKSESI KEPEMIMPINAN DALAM SYARIAT ISLAM

A.    Pada Masa Rasulullah
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekkah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan duniawi. Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala negara.[1]
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu (Madinah), maka beliau segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar-dasar tersebut antara lain:
1.      Pembagunan masjid, selain sebagai tempat ibadah masjid juga digunakan sebagai pusat pemerintahan.
2.      Ukhuwah Islamiyah, Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin dan Anshar.
3.      Hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lainyang tidak beragama Islam.
Dari perjalanan sejarah Nabi ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW, di samping sebagai pemimpin agama, juga seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang cakap. Hanya dalam sebelas tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukkan seluruh jazirah Arab ke dalam kekuasaannya.[2]


B.     Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Dalam sejarah Islam dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala negara, yakni pada masa Khulafaur Rasyidin; Abu Bakar ditetapkan berdasarkan pemilihan dengan musyawara terbuka, Umar ibn Khattab ditetapkan berdasarkan penunjukan kepala negara terdahulunya, Usman ibn Affan ditetapkan berdasarkan pemilihan dalam suatu dewan formatur, dan Ali ibn Abi Thalib ditetapkan berdasarkan pemilihan musyawarah dalam pertemuan terbuka.[3]
1.      Khalifah Abu Bakar
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sai’dah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam.[4]

2.      Khalifah Umar ibn Khattab
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, beliau bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai gantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam.[5]

3.      Usman Ibn Affan
Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melaui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.[6]

4.      Ali ibn Abi Thalib
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun pada pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin pemberotakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.[7]

C.    Kepemimpinan Bani Umayyah
Memasuki kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperolaeh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan suara pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia member interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.[8]

D.    Kepemimpinan Bani Abbasiyah
Kekuasaan Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, merupakan kelanjutan dari kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhamad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan oerubahan politik, sosial, dan budaya.[9]


BAB III
ANALISIS SUKSESI KEPEMIMPINAN DALAM SYARIAT ISLAM

A.    Dasar Hukum Pemilihan Pemimpin (Suksesi Kepemipinan)
Berkaitan dengan kehidupan bernegara, al-Qur’an dalam batas-batas tertentu, tidak memberikan pemberian. Tetapi al-Qur’an hanya memaktubkan tata nilai. Demikian pula as-Sunnah. Nabi tidak menetapkan peraturan secara rinci mengenai prosedur pergantian kepemimpinan umat dan kualifikasi pemimpin umat. Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa Firman Allah dan Sabda Nabi yang berkaitan dengan pembahasan.
1.      Dasar al-Qur’an
a.       Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.
¨bÎ)ur ÿ¾ÍnÉ»yd óOä3çF¨Bé& Zp¨Bé& ZoyÏnºur O$tRr&ur öNà6š/u Èbqà)¨?$$sù ÇÎËÈ  
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (QS. Al-Mu’minun: 52)[10]

b.      Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan dan menyelenggarakan masalah yang bersifat ijtihadiyah.
öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka (QS. As-Syura: 38)[11]
c.       Kemestian mentaati Allah dan Rasulullah.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (